Palembang,SuaraMetropolitan – Proyek Pabrik Pusri IIIB yang disebut-sebut sebagai salah satu pabrik pupuk urea tercanggih di Asia kini menjadi sorotan tajam publik. Konsorsium pelaksana proyek yang melibatkan PT Adhi Karya (Persero) Tbk dan perusahaan asal Tiongkok Wuhuan Engineering Co. Ltd dipertanyakan efektivitas dan transparansinya.
Pasalnya, dalam struktur pembagian kontrak, Adhi Karya mendapat jatah 15,1% atau senilai sekitar Rp1,4 triliun, sementara Wuhuan Engineering menguasai 84,9% dari nilai kontrak EPC senilai sekitar Rp7,9 triliun. Namun, pekerjaan Adhi Karya disebut hanya mencakup pekerjaan awal seperti soil investigation dan pemasangan tiang pancang.
“Adhi Karya kebagian Rp1,4 triliun, tapi pekerjaannya hanya tanah dan tiang pancang? Lalu sisanya kerja siapa?,” sindir Ir. Feri Kurniawan, Deputi Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (K MAKI).
Feri menyebut, proyek dengan nilai total mencapai lebih dari Rp10,5 triliun tersebut seharusnya didasarkan pada perencanaan matang, bukan estimasi kasar tanpa desain dan dokumen anggaran yang jelas. Ia menyebutkan bahwa Wuhuan bahkan masih menunggu hasil kerja Adhi Karya untuk dapat menyusun rencana desain dan menghitung anggaran pembangunan pabrik.
Baca juga: K MAKI Bongkar RAB Pusri IIIB: Konsep Kasar, Risiko Korupsi Besar
“Kontrak Wuhuan itu masih hitung-hitungan kasar. Pabriknya sendiri belum dirancang. Tapi sudah ada angka Rp7,9 triliun? Ini akal-akalan,” tegasnya.
Skema pendanaan proyek juga dinilai berisiko karena didanai melalui kredit sindikasi senilai Rp9,3 triliun dari delapan bank nasional dan daerah, seperti BNI, Mandiri, BRI, BCA, BTN, BSI, BJB, dan Bank Sumsel Babel, dengan komposisi 70% pinjaman dan 30% ekuitas Pusri.
Selain soal kejanggalan kontrak, K MAKI menyoroti minimnya pelibatan akademisi lokal di Sumatera Selatan seperti Unsri, Unpal, PGRI, hingga Universitas Syakhyakirti, padahal pembangunan pabrik ini sangat strategis dan kompleks.
Tak hanya itu, proyek yang dibangun di tengah kawasan padat penduduk juga dinilai minim kajian lingkungan, karena menurut Feri, tidak terlihat keterlibatan Dinas Lingkungan Hidup Kota maupun Provinsi dalam sosialisasi risiko atau kajian dampak kimia.
“Bagaimana jika terjadi kebocoran amoniak atau ledakan besar seperti termo nuklir? Masyarakat tidak pernah diberi informasi,” katanya.
Feri juga memperingatkan soal keberadaan tenaga kerja asing yang tidak transparan, mulai dari asal, status, hingga potensi masalah kesehatan.
Di akhir pernyataannya, K MAKI mempertanyakan ketergantungan bangsa ini terhadap asing untuk membangun pabrik pupuk.
“Setelah puluhan tahun mengelola pabrik pupuk, masa kita belum bisa bangun sendiri? Di mana alih teknologinya?” pungkasnya. (*)