Badung,SuaraMetropolitan – Kasus kebangkrutan salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Cimahi memantik perhatian publik dan menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menyatakan kesiapannya menjamin simpanan nasabah, namun persoalan di balik kolapsnya bank tersebut menyisakan tanda tanya besar.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI, Tommy Kurniawan, menegaskan bahwa persoalan mendasar bukan hanya terkait keuangan semata, melainkan juga kelemahan tata kelola dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di lembaga keuangan mikro seperti BPR dan BPRS.
“Terkait dengan pemahaman manajemen perbankan, bagaimana mengelola keuangan di BPR itu harus lebih baik. Tingkat risikonya juga harus terukur, karena kebanyakan persoalan terjadi akibat miss management,” ujar Tommy dalam kunjungan kerja spesifik Komisi XI DPR RI bersama LPS di Badung, Bali, Kamis (2/5/2025).
Baca juga: Daeng Ical Soroti Kesenjangan Strategis dalam Pembangunan TNI
Ia menyoroti bahwa masih banyak pengelola BPR yang belum memiliki kapabilitas memadai dalam manajemen risiko dan stabilitas kelembagaan. Akibatnya, tekanan keuangan sedikit saja dapat menggoyahkan institusi tersebut.
Lebih lanjut, Tommy mengungkapkan fakta mengejutkan terkait tingginya rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) di BPR yang mengalami kebangkrutan. Menurutnya, NPL di bank tersebut telah mencapai 96 persen, angka yang menandakan kegagalan total dalam fungsi intermediasi perbankan.
“NPL-nya sudah sampai 96 persen. Artinya, ini sudah gagal total. Hal seperti ini tidak boleh terulang,” tegas politisi Fraksi PKB dari Daerah Pemilihan Jawa Barat itu.
Tommy menekankan pentingnya pembenahan menyeluruh dalam sektor BPR dan BPRS. Ia mendorong pemerintah dan otoritas keuangan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan LPS untuk segera menyusun peta jalan (roadmap) peningkatan kualitas manajemen dan SDM.
“Harus ada roadmap peningkatan kualitas SDM dan manajemen di BPR dan BPRS. Jangan tunggu kolaps baru bertindak. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan harus dijaga,” imbuhnya.
Ia menilai kasus ini menjadi cerminan penting bahwa pengawasan dan pembinaan terhadap perbankan mikro di daerah harus diperkuat. Dengan dukungan regulasi yang tepat dan peningkatan kualitas SDM, sektor ini diharapkan dapat kembali menjadi pilar ekonomi kerakyatan yang sehat dan berkelanjutan. (*)