Jakarta,SuaraMetropolitan – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal secara terpisah memicu respons kritis dari parlemen. Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menilai putusan tersebut telah menyalahi batas kewenangan MK sebagai negative legislator.
“Perlu kita pahami bersama bahwa MK mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator,” kata Khozin dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/7/2025). Ia mempertanyakan apakah dengan dalih menjaga dinamika konstitusi, MK kini dapat berubah menjadi lembaga ketiga setelah Presiden dan DPR dalam merumuskan undang-undang.
Dalam forum diskusi publik yang juga dihadiri Ketua KPU Mochammad Afifuddin, Ketua Bawaslu Rahmat Bagdja, Peneliti Utama BRIN Siti Zuhro, dan Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, Khozin menekankan pentingnya penegasan kembali fungsi MK agar tidak menjadi celah penolakan terhadap produk legislasi.
Baca juga: 113 Orang Misterius dalam Proyek Penulisan Ulang Sejarah Nasional, DPR: Siapa Mereka?
“Jangan sampai MK, dengan berbagai putusan kontroversialnya, justru menjadi jalan pintas bagi pihak-pihak tertentu untuk menolak produk perundang-undangan,” ujarnya.
Ia menilai, putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2025 tentang keserentakan Pemilu bersifat paradoksal dan kontradiktif bila dibandingkan dengan putusan MK sebelumnya, Nomor 55/PUU-XVII/2019. Saat itu, MK menolak menetapkan model keserentakan karena dianggap berada di ranah pembentuk undang-undang. Namun dalam putusan terbaru, MK justru menentukan adanya Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.
Baca juga: Jalan Tol Mahal, Kualitas Murahan: DPR Soroti Buruknya Tol Palembang–Kayu Agung
“Putusan 135/2025 memutuskan salah satu dari enam opsi model keserentakan, padahal sebelumnya MK menolak menentukan itu. Ini kontradiktif,” ujar politisi PKB tersebut.
Khozin juga menegaskan bahwa pelaksanaan putusan tersebut tidak dapat dilakukan secara otomatis. Sebab, menurutnya, hal itu bertentangan dengan norma konstitusi yang tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 18 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
“Kalau ini kemudian dilaksanakan, jangan sampai perintah konstitusional dilaksanakan dengan cara menabrak konstitusi. Ini kan enggak akan berujung nanti. Tidak ada ruang kepastian hukum di sini,” pungkasnya. (*)