Palembang,SuaraMetropolitan – Ketika masyarakat masih bergulat dengan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur desa, Pemerintah Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) justru memilih menggelontorkan anggaran sebesar Rp12,2 miliar untuk pengadaan mobil dinas. Hal ini mengundang reaksi keras dari Aliansi Pemuda Peduli PALI (AP3), yang pada Rabu (25/6/2025) resmi melaporkan dugaan penyalahgunaan anggaran tersebut ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel).
AP3 menilai bahwa pengadaan tersebut bukan hanya tidak memiliki urgensi, tapi juga mencederai akal sehat publik. Di tengah upaya nasional melakukan efisiensi keuangan negara sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, keputusan Pemkab PALI ini dianggap bertolak belakang dengan semangat reformasi birokrasi dan tata kelola keuangan yang bijak.
“Kami berpandangan bahwa pengadaan mobil dinas dengan nilai sebesar itu sangat tidak pantas di tengah kondisi masyarakat yang masih banyak kekurangan. Apalagi saat ini sudah ada inpres soal efisiensi anggaran. Lalu urgensinya di mana?” kritik Abu Rizal, S.Ag, perwakilan AP3.
Baca juga: Presiden Minta Hemat, Kabupaten PALI Belanja Mewah? K MAKI Warning Potensi Korupsi
Baca juga: Janji 5 Tahun Diingkari, Heri Amalindo Lawan SK Kemendagri yang Dinilai Menyesatkan
Menurutnya, belanja mobil dinas bernilai miliaran rupiah hanya menunjukkan bahwa kepentingan elite lebih diutamakan ketimbang pelayanan publik. AP3 pun berharap Kejati Sumsel segera menindaklanjuti laporan yang telah mereka serahkan, lengkap dengan bukti awal yang dianggap cukup untuk memulai penyelidikan.
Senada dengan itu, Hadi Prasmana, S.Kom, juga menyatakan bahwa AP3 akan terus mengawal laporan ini sebagai bentuk tanggung jawab warga terhadap kebijakan publik. “Kami ingin pemerintah yang bukan hanya sah secara hukum, tapi juga waras secara moral dan sosial. Jangan sampai uang rakyat dihamburkan demi kenyamanan segelintir pejabat,” tegasnya.
Laporan dari AP3 ini menjadi refleksi tajam terhadap bagaimana prioritas anggaran daerah sering kali tidak berpihak pada kebutuhan masyarakat. Ketika logika anggaran mulai dikuasai oleh kepentingan simbolik seperti mobil dinas, maka suara rakyatlah yang harus kembali mengingatkan arah pembangunan.