Peristiwa

BMKG: Fakta Gempa-Tsunami Pacitan 28 Meter, Tiba 29 Menit                                                     

×

BMKG: Fakta Gempa-Tsunami Pacitan 28 Meter, Tiba 29 Menit                                                     

Sebarkan artikel ini

Jakarta (Metro Indonesia) — Kepala Mitigasi Gempa dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono, mengungkap sejumlah fakta terkait kerawanan gempa dan tsunami di Pacitan.

BMKG memperingatkan supaya pemerintah daerah dan masyarakat Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, harus waspada dan bersiap dengan skenario terburuk gempa dan tsunami setinggi 28 meter yang berpotensi menerjang daerah itu dalam 29 menit.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Kesiapan dan kewaspadaan tersebut diperlukan untuk menghindari dan mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami yang mengintai pesisir selatan Jawa akibat pergerakan lempeng tektonik Indo-Australia dan Eurasia.

Daryono menjelaskan bahwa berdasarkan catatan sejarah, pada 4 Januari 1840 terjadi Gempa Jawa yang memicu terjadinya tsunami di Pacitan.

“Selanjutnya pada 20 Oktober 1859, terjadi lagi gempa besar di Pulau Jawa yang juga menimbulkan tsunami menerjang Teluk Pacitan, menewaskan beberapa orang awak kapal,” papar Daryono kepada CNNIndonesia.com melalui keterangan tertulis, Selasa (14/9).

Daryono juga menjelaskan gempa besar di Jawa kembali terjadi pada 11 September 1921 dengan magnitudo 7,6. Pusat gempa ini terletak di zona outer rise selatan Pacitan yang juga memicu tsunami hingga Cilacap.

Kemudian, Pacitan kembali diguncang gempa berskala besar pada 27 September 1937. Dampak gempa ini mencapai skala intensitas VIII-IX MMI menyebabkan 2.200 rumah roboh dan banyak orang meninggal.

Wilayah Pacitan merupakan daerah yang berhadapan dengan zona megathrust sehingga daerah tersebut rawan terhadap gempa dan tsunami.

“Hasil monitoring BMKG terhadap aktivitas kegempaan sejak 2008 menunjukkan bahwa di wilayah selatan Pacitan beberapa kali terbentuk kluster seismisitas aktif, meskipun kluster pusat gempa yang terbentuk tidak diakhiri dengan terjadinya gempa besar,” ungkap Daryono.

Wilayah selatan Pacitan, kata Daryono, merupakan bagian dari zona aktif gempa di Jawa Timur yang mengalami peningkatan aktivitas kegempaan, di wilayah tersebut dalam beberapa tahun terakhir sering terjadi aktivitas gempa yang signifikan.

“Potensi magnitudo maksimum gempa megathrust selatan Jawa Timur hasil kajian adalah 8,7. Nilai magnitudo gempa tertarget ini oleh tim kajian BMKG dijadikan sebagai inputan pemodelan tsunami untuk wilayah Pacitan,” kata Daryono.

Selain itu, morfologi pantai Pacitan yang berbentuk teluk menurut Daryono lebih berbahaya ketika terjadi tsunami. Energi tsunami yang masuk kawasan teluk akan terakumulasi karena gelombangnya berkumpul dan terjebak sehingga tinggi tsunami bisa meningkat.
Jika morfologi pantai teluknya landai maka tsunami dapat melanda daratan hingga jarak yang jauh.

Daryono menjelaskan ada banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mitigasi bencana guna mencegah korban saat terjadi tsunami. Menurutnya, masyarakat perlu memahami konsep evakuasi mandiri, sebab hal itu merupakan jaminan keselamatan dari tsunami yang terbukti efektif.

“Untuk mendukung efektivitas proses evakuasi, maka jalur evakuasi harus sudah disiapkan, rambu evakuasi sudah terpasang secara permanen. Adanya kelengkapan fasilitas ini membuat masyarakat yang melakukan evakuasi akan dengan segera mencapai titik kumpul di tempat evakuasi sementara di daerah yang aman,” katanya.

Selain itu, Daryono mengimbau agar masyarakat tidak mengabaikan peringatan dini tsunami yang disebarluaskan oleh BMKG menggunakan multimoda diseminasi.

“Masyarakat harus memiliki sikap swasadar informasi gempa dan peringatan dini tsunami serta memiliki respon yang cepat untuk segera melakukan evakuasi, karena golden time yang cukup singkat,” imbuhnya.

Daryono juga menyebut pemerintah daerah harus sigap dan cepat dalam merespon peringatan tsunami untuk selanjutnya mengaktivasi sirene untuk perintah evakuasi masyarakat pesisir.

Jika karena satu hal sebagian warga terlambat mengetahui adanya warning tsunami, maka penting bagi masyarakat memahami cara selamat dengan melakukan evakuasi vertikal secepatnya.

“Meskipun harus memanjat pohon, memanjat bangunan tower yang tinggi, atau memanjat bangunan tinggi lainnya yang terdekat. Ini adalah beberapa cara selamat dalam menghadapi tsunami,” ujar Daryono.

Ikuti Kami di Google News klik https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMPvkpwwwje21BA?hl=en-ID&gl=ID&ceid=ID%3Aen