Palembang,SuaraMetropolitan – Meski memiliki sederet aturan yang tegas melarang iklan rokok di ruang publik, kenyataannya Kota Palembang justru tampil sebagai salah satu kota yang paling “bersahabat” dengan promosi produk tembakau. Dari baliho besar hingga videotron yang menyala terang dan bebas 24 jam, iklan rokok menjamur di sepanjang jalan protokol, menyapa setiap mata yang melintas, termasuk anak-anak dan pelajar.
Yang menarik, Kota Palembang bukan tanpa dasar hukum. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 secara nasional telah melarang pemasangan iklan rokok di jalan utama dan kawasan yang diperuntukkan bagi anak-anak. Aturan ini bahkan diperkuat di tingkat lokal melalui Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok, yang menegaskan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok dilarang di kawasan publik, termasuk jalan protokol, sekolah, rumah ibadah, dan tempat layanan kesehatan.
Yang sering luput dari perhatian adalah bahwa larangan ini juga berlaku bagi iklan rokok elektrik atau vape. Meski tampil dalam kemasan yang dianggap “modern” atau “alternatif”, produk tembakau elektronik tetap masuk dalam kategori zat adiktif yang pengamanan dan promosinya diatur dalam PP 109/2012. Artinya, iklan vape di ruang publik, termasuk melalui videotron dan media luar ruang lainnya, juga dilarang.
Namun, siapa sangka, di lapangan justru yang paling menonjol adalah videotron iklan rokok yang menampilkan animasi dan warna mencolok di titik-titik strategis kota. Beberapa bahkan berdiri tak jauh dari sekolah atau halte yang ramai oleh pelajar.
Jika regulasi telah lama terbit, tapi implementasi seperti tak terlihat, maka wajar jika publik menganggap bahwa aturan-aturan tersebut sekadar formalitas administratif, tegas di kertas, lunak di praktik.
Yang lebih mengundang tanya, apakah karena baliho dan videotron itu membayar pajak, maka mereka kebal dari larangan? Jika iya, maka perlindungan kesehatan publik telah dikalahkan oleh hitung-hitungan retribusi.
Di kota yang menyandang label Kawasan Tanpa Rokok, justru iklan rokok terlihat lebih bebas dibandingkan iklan layanan masyarakat. Palembang seolah menghidupkan dua wajah hukum sekaligus: satu untuk ditulis, satu untuk diabaikan.
Pertanyaannya, untuk siapa sesungguhnya aturan itu dibuat? Jika PP dan Perwali yang sudah eksis lebih dari satu dekade tak mampu menertibkan baliho dan videotron rokok di jantung kota, Ketika pajak lebih didahulukan daripada perlindungan anak dan kesehatan publik, maka wibawa aturan hanya tinggal dekorasi, dan jalan protokol pun menjadi panggung bebas promosi zat adiktif.
Mungkin yang dibutuhkan bukan sekadar regulasi, tetapi keberanian untuk menegakkannya, meski harus melawan potensi pendapatan daerah.
Editorial SuaraMetropolitan