BeritaPolitik

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Komisi II: Tidak Hanya Sistem Pemilihan, Aktor Politik Juga Harus Berubah Lebih Baik

×

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Komisi II: Tidak Hanya Sistem Pemilihan, Aktor Politik Juga Harus Berubah Lebih Baik

Sebarkan artikel ini
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin.

Jakarta,SuaraMetropolitan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menanggapi wacana yang disampaikan Presiden RI Prabowo Subianto agar Pilkada dipilih oleh DPRD di masing-masing tingkatan, baik di level kabupaten/kota maupun provinsi. Presiden Prabowo mengusulkan hal itu lantaran menilai biaya politik dengan adanya ratusan pilkada itu sangatlah tinggi, sehingga menguras anggaran negara hingga triliunan rupiah.

Meskipun demikian, Zulfikar menilai selain fokus mengkaji model pemilu mana yang paling tepat dalam rangka melakukan pendalaman demokrasi (deepening democracy), yang terpenting juga adalah aktor politik itu sendiri yang harus berubah untuk memperbaiki demokrasi.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

“Sehingga yang berubah itu juga jangan modelnya saja, jangan hanya meng-engineering kita terhadap model itu, tapi aktornya juga harus mau berubah. Partai-partai, paslon-paslon juga harus berubah, ajak pemilih untuk berubah. Karena kan kita diberi tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik. Itu lah,” ujarnya di Jakarta, Senin (16/12/2024).

Karena itu, ia berpendapat agar model Pilkada tetap bersifat langsung seperti saat ini, namun juga tetap melakukan rekayasa (engineering) agar menghindari ekses negatif dari Pilkada langsung tersebut. Misalnya, dengan cara optimalisasi Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dan juga pembiayaan partai politik melalui APBN.

Baca juga: Reses di Palembang, Taufan Pawe Tegaskan Pentingnya Pengawasan Penggunaan Dana Pusat di Daerah

Salah satu cara agar menghindari ekses negatif dari Pilkada langsung adalah dengan memisahkan waktu pelaksanaan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Hal itu merujuk pada Keputusan MK yang menyatakan bahwa Pilkada merupakan sama-sama rezim Pemilu.

Karena itu, Pemilu Lokal dilakukan serentak dengan cara memilih DPRD tingkat kabupaten/kota beserta dengan kepala daerahnya. Setelah itu, setidaknya setahun setelahnya, diselenggarakan Pilkada di level provinsi untuk memilih DPRD Provinsi beserta gubernur di masing-masing. Lalu, diselenggarakan Pemilu Nasional, yaitu DPR RI, DPD RI, beserta Presiden dan Wakil Presiden RI.

“Kenapa? Karena DPRD Provinsi, kabupaten/kota, dan gubernur, kabupaten/kota, itu kan pemerintahan daerah, local government. Kita harus kita pisah, jangan jadikan satu lagi. Karena ada keputusan MK yang memberikan enam model keserentakan Pemilu yang bisa ditawarkan,” urai Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Baca juga: Jadi Pedoman Pemda, Komisi II Harap Juknis Program Makan Bergizi Gratis Segera Diterbitkan

Rekayasa Pemilu lainnya untuk mencegah ekses negatif adalah menegaskan bahwa berpartisipasi dalam Pemilu adalah kewajiban, bukan hak. Termasuk juga metode kampanye dalam Pilkada harus disusun agar lebih mengutamakan dialog dan tatap muka. Kampanye akbar yang mengundang adanya money politics harus dikurangi.

“Kampanye yang terbatas lah, terbatas. Lalu Alat Peraga Kampanye (APK) juga harus dikurangi lah. Kan ada medsos kita ini. Ada media online, ada medsos ya. Pakai itu aja. Kalau perlu negara menambah biaya untuk kampanye. Lalu jangan lagi ngasih apa? Merchandise-merchandise itu lho. Kan kita ngasih uang nggak boleh, tapi kan ngasih (merchandise) ini bisa,” papar jebolan Fisipol UGM ini.

Dengan adanya kampanye yang lebih menekankan pada program dan tatap muka, ia meyakini maka manipulasi suara akan banyak berkurang. Sebab, masyarakat akan terdidik untuk lebih melihat program nyata yang ditawarkan. (*)

Ikuti Kami di Google News klik https://news.google.com/publications/CAAqBwgKMPvkpwwwje21BA?hl=en-ID&gl=ID&ceid=ID%3Aen

Tinggalkan Balasan