Palembang,SuaraMetropolitan – Anggota Komisi VI DPR RI, Iskandar, menyoroti ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Sumatera Selatan yang dinilainya tidak berpihak pada kepentingan masyarakat lokal. Kekayaan alam yang seharusnya menjadi berkah, justru menurutnya berpotensi menjadi kutukan akibat praktik pengelolaan yang elitis dan sentralistik.
“Kita ini bukan kekurangan sumber daya. Masalahnya, pengelolaannya masih elitis, tidak berpihak pada rakyat. Kalau terus begini, anugerah bisa berubah jadi kutukan,” kata Iskandar saat dalam kunjungan kerja Komisi V DPR RI di Palembang, Senin (23/6/2024).
Ia mencontohkan bagaimana masyarakat Sumsel selama bertahun-tahun hanya menjadi penonton, bahkan korban, dari eksploitasi tambang. Iskandar menegaskan bahwa pembagian hasil tambang masih timpang karena sebagian besar royalti masuk ke pusat, sementara daerah hanya mewarisi dampak lingkungan.
“Kalau hanya pusat yang dapat royaltinya, daerah hanya menerima sisa polusi dan kerusakan. Masyarakat hanya dapat asap, negara yang dapat uang. Ini ketimpangan struktural yang harus dikoreksi,” jelasnya.
Baca juga: 23 Ribu Kasus Sifilis, DPR Soroti Lemahnya Perlindungan Generasi Bangsa
Iskandar pun mendorong revisi skema royalti agar daerah penghasil mendapat porsi lebih besar dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Ia menilai porsi 7–13 persen yang kini berlaku tidak cukup untuk mendorong kemandirian fiskal daerah seperti Sumsel.
“Kalau hanya 7–13 persen dan itu pun sebagian besar disetor ke pusat, bagaimana Sumsel bisa mandiri fiskal? Ini harus kita perjuangkan bersama. Kami siap beri dukungan politik,” tegas politisi Fraksi PAN tersebut.
Iskandar juga menyinggung kondisi lingkungan yang kian memburuk akibat tambang, baik legal maupun ilegal. Menurutnya, dampak seperti bekas galian, longsor, hingga pencemaran air dan udara sudah menjadi ancaman nyata yang perlu penanganan serius.
“Reklamasi itu jangan jadi formalitas. Harus ada revitalisasi kawasan, penghijauan kembali, dan audit lingkungan yang ketat. Jangan biarkan rakyat hidup di tanah rusak yang tidak lagi produktif,” ujarnya.
Baca juga: Komisi IV: Hilirisasi Jangan Hanya untuk Investor, Tapi Rakyat Juga
Lebih lanjut, ia menuntut agar BUMN yang beroperasi di daerah tidak semata menjadi mesin profit, tetapi berperan sebagai agen perubahan sosial. Ia mengkritik program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang cenderung seremonial dan minim dampak konkret.
“Program CSR jangan hanya seremonial. Harus memberdayakan UMKM lokal, menciptakan industri rakyat, dan membuka lapangan kerja nyata. Wujudkan keadilan sosial, bukan hanya ekonomi makro,” tutupnya.
Sumsel sendiri dikenal sebagai salah satu daerah terkaya akan sumber daya alam di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan pemda setempat, Sumsel memiliki cadangan batubara lebih dari 22 miliar ton, tersebar di wilayah Muara Enim, Lahat, dan Banyuasin. Selain itu, Sumsel juga menyimpan cadangan gas alam sekitar 4,18 triliun kaki kubik serta potensi minyak bumi di lapangan-lapangan seperti Grissik dan Suban.
Wakil Gubernur Sumatera Selatan, Cik Ujang, turut menggarisbawahi perlunya hilirisasi industri yang berkelanjutan, serta penguatan pengelolaan lingkungan. Ia menyebut Sumsel harus menjadi contoh dalam mengelola SDA secara seimbang.
“Sumsel harus menjadi contoh dalam menyeimbangkan eksploitasi dengan konservasi. Kami juga dorong keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya secara inklusif,” pungkasnya. (*)