Semarang,SuaraMetropolitan – Proyek penulisan ulang sejarah nasional yang saat ini tengah digarap oleh pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan kembali mendapat sorotan tajam dari DPR RI. Anggota Komisi X, Bonnie Triyana, mempertanyakan keterbukaan proyek tersebut, khususnya terkait identitas 113 orang yang disebut-sebut sebagai penulis.
“Sampai hari ini kita tidak pernah tahu siapa 113 orang itu, hanya editor umumnya saja yang kita ketahui. Bahkan juga ada santer kabar, ada asisten yang mengerjakan,” ujar Bonnie usai kunjungan kerja Komisi X DPR RI di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/7/2025).
Kunjungan kerja tersebut merupakan bagian dari fungsi pengawasan Komisi X di bidang kebudayaan, yang salah satu fokusnya adalah meninjau proyek penulisan sejarah nasional. Dalam kesempatan itu, Komisi X mendengarkan masukan dari berbagai unsur masyarakat, mulai dari akademisi, pegiat budaya, guru, aktivis, hingga sejarawan.
Bonnie menegaskan bahwa bila yang ditunjuk memang sejarawan bereputasi, maka mereka seharusnya menulis langsung, bukan justru menyerahkan kepada asisten. Hal ini menyangkut tanggung jawab akademis dan integritas ilmiah karya tersebut.
“Kalau misalkan 113 sejarawan ini reputasinya bagus, maka mestinya dialah yang mengerjakan, sehingga tanggung jawab intelektualnya, akademisnya, bahkan bobotnya bisa dipertanggungjawabkan,” jelas politisi dari Fraksi PDI-Perjuangan itu.
Ia juga mengungkapkan bahwa sejak awal proyek ini digagas, dirinya bersama sejumlah anggota Komisi X telah mengusulkan agar pemerintah melaksanakan uji publik dan sosialisasi sejak dini. Tujuannya, untuk mencegah polemik yang kini justru mencuat akibat minimnya keterbukaan.
Baca juga: Jalan Tol Mahal, Kualitas Murahan: DPR Soroti Buruknya Tol Palembang–Kayu Agung
“Sejak proyek ini bermula, saya adalah orang yang pertama mempertanyakan siapa yang menulis, dan juga saya yang mengusulkan saat itu bersama kami teman-teman di Komisi 10 juga untuk melaksanakan uji publik dan sosialisasi sesegera mungkin untuk menghindari kontroversi. Dan memang pada akhirnya tetap terjadi,” ucapnya.
Bonnie menekankan pentingnya keterlibatan publik dan akuntabilitas dalam proyek penulisan sejarah nasional ini. Ia juga mengingatkan agar proses uji publik dilakukan secara substansial, bukan sekadar formalitas belaka.
“Dalam pelaksanaan uji publik pun secara serius, bukan seremoni saja, sehingga bisa menampung masukan banyak dari masyarakat yang pada akhirnya bisa menyempurnakan buku ini dan bisa memenuhi harapan masyarakat,” pungkasnya.
DPR RI melalui Komisi X juga menerima berbagai kritik dari masyarakat terkait proyek ini. Kekhawatiran muncul bahwa penulisan sejarah tersebut dijalankan dengan target waktu yang terlalu ketat dan dikhawatirkan sarat kepentingan politik. Sejumlah anggota Komisi X bahkan mendorong agar waktu pengerjaan diperpanjang agar hasilnya lebih mendalam dan bertanggung jawab secara ilmiah. (*)